Selasa, 31 Januari 2012

contoh pengajuan judul skripsi

1. Judul skripsi : pengaruh reward sistem terhadap kinerja bank muamalat kota Tanjungpinang
2. Ruang lingkup/bidang ilmu
Pengetahuan : MANAJEMEN ASURANSI

3. Pelaksanaan Penelitian :
3.1. Nama Mahasiswa : SOPIANTO
3.2. NO BP : 507.2445
3.3. Nimko : 1204.07.2995
3.4. Jumlah SKS yang telah di capai : 133 SKS
3.5. Dosen PA : IFMAINI IDRIS,SE

4. Lokasi Penelitian
4.1. Lokasi : Puskesmas Seijang
4.2. Lama penelitian : 6 ( ENAM) BULAN


Tanjungpinang, 12 Juli 2011
Peneliti

SOPIANTO

MENYETUJUI
Kepala lembaga Ketua Jurusan
Penelitian dan pengabdian masyrakat Ekonomi Islam STAI-MU
KALP 2 M STAI-MU


Drs. ABDUL HAJI Drs. IMRAN EFENDI HASIBUAN. MA

Selasa, 24 Januari 2012

psikologi

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami mengucapkan puji dan syukur kepada Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas kami ini dapat terealisasi dengan baik. Salawat dan Salam senantiasa dipanjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW sebagai Uswatun Hasanah bagi hidup dan kehidupan kita di muka bumi ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.

Saya yang membuat makalah ini mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan tugas ini yang telah kami selesaikan. Tidak semua hal dapat menulis dengan sempurna dalam tugas ini. Namun kami disini melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kami miliki.

Maka dari itu seperti yang telah saya jelaskan, bahwa kami memiliki keterbatasan dan juga kekurangan, selalu bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang budiman. Kami akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan yang dapat memperbaiki Makalah ini di masa datang.


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………...…………… iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
A. Latar Belakang………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………….. 2
A. Pengertian Konversi Agama …………………………………………. 2
B. Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama ……………………………. 5
C. Proses Konversi Agama ………………………………………………13
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………17
A. Kesimpulan ……………………………………………………………. 17
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………… 18
DAFTAR PUSTAKA …………………………






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dampak yang paling menonjol dari modernitas adalah keterasingan (alienasi) yang dialami oleh manusia. Alienasi muncul dari cara pkitang dualisme, yaitu: jiwa-badan, makhluk-Tuhan, aku-yang lain, kapitalis-proletar, dll. Akhirnya terjadilah gejala reifikasi atau pembedaan antar sisi dari dualitas tersebut. Ini disebut pula objektivikasi, yaitu manusia memkitang dirinya sebagai objek, seperti layaknya sebuah benda.

Dalam filsafat kita mengenalnya dengan aliran materialisme. Semakin kuat pengaruh materialisme, semakin kuat pula gejala alienasi (keterasingan) diderita umat manusia. Kita pasti tidak menghendaki filosofi akan berdampak sedemikian menyedihkan. Dan masyarakat dunia Barat adalah yang paling menderita karena materialisme memang berkembang biak sangat subur di sana.

Degradasi moral sering terjadi karena manusia tidak mampu mengatasi penyakit jiwa manusia modern ini. Narkotika, seks bebas, bahkan bunuh diri sering menjadi pelarian. Hidup tampaknya menjadi tidak berarti lagi. Mereka yang tertolong atau segera menemukan pencerahan dari kekelaman jiwa ini akan bangkit dan memeluk suatu keyakinan yang baru. Suatu keyakinan yang akan membuat hidupnya terasa lebih berarti, hidup yang bertujuan, yaitu kembali kepada Tuhannya. Terjadilah pembalikan arah, atau konversi. Dalam bahasa agama disebut pertobatan (taubat, metanoia).

















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konversi Agama
1. Pengertian Konversi Agama Menurutu Etimologi.
Pengertian konversi agama menurut etimologi konversi berasal dari kata latin “conversio” yang berarti tobat, pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata Inggris “conversion” yang mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat di simpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama.
1. Heirich.
Heirich (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan bahwa konversi agama adalah “Merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya”
2. James
James (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: “to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or sudden, by which a self hitherro devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities”. “berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kuran bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlkitaskan kenyataan beragama”.

3. E.Clark
Clark (dalam Daradjat, 1979), “Memberikan definisi konversi sebagai berikut: konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.”

Ciri-ciri seseorang melakukan konversi agama, menurut Ramayulis (2002) adalah:
1. Adanya perubahan arah pkitangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
2. Perubahan yang terjadi di pengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berperoses atau secara mendadak.
3. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pkitangan terhadap agama yang di anutnya sendiri.
4. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun disebabkan faktor petunjuk dari yang maha kuasa.
5. Jenis Konversi Agama
Menurut Moqsith, jenis-jenis konversi agama di bedakan menjadi dua, yaitu:
1. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama.
2. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama keagama lain.
Menurut Abdalla, senada dengan apa yang telah di ungkapkan Moqsith, konversi internal terjadi dalam satu agama, dalam artian pola pikir dan pkitang seseorang berubah, ada yang dihilangkan dan tidak menutup kemungkinan banyak yang ditambahkan (ibadah), tetapi konsep ketuhanan tetap sama. Sedangkan dalam konversi eksternal pindah keyakinan ke konsep yang benar-benar berbeda dengan konsep keyakinan sebelumnya. Dari uraian di atas maka dapat di simpulkan bahwa pengertian konversi agama adalah merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku ke system kepercayaan yang lain.

B. Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama
1. Penido
(dalam Ramayulis, 2002), berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur:
a. Unsur dari dalam diri (endogenos origin)
yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
b. Unsur dari luar (exogenous origin)
yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Sedangkan berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan factor yang manjadi pendorong konversi (Motivasi konversi). James dan Heirich (dalam Ramayulis, 2002), banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut menurut pendapat dari para ahli yang terlibat dalam berbagai disiplin ilmu, masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama di sebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
2. Para Ahli Agama,
Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok.
3. Para Ahli Sosiologi,
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama karena pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
a. Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain).
b. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jka dilakukan secara rutin hingga terbiasa. Misal, menghadiri upacara keagamaan.
c. Pengaruh anjuran atau propagkita dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga, famili dan sebagainya.
d. Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu pendorong konversi agama.
e. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
f. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja. Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa).
4. Para Ahli Ilmu Jiwa,
Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh factor intern maupun faktor ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga ia mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram.
5. James,
Dalam uraiannya James (dalam Ramayulis, 2002) yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai berikut:
a. Konversi terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap.
b. Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses).
Kemudian James mengembangkan Faktor Penyebab konversi itu menjadi beberapa tipe yaitu :
Pertama, tipe Volitional (perubahan bertahap), konversi agama ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran.
Kedua, tipe Self-Surrender (perubahan drastis), konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya.
Pada konversi agama tipe kedua ini James (dalam, Ramayulis, 2002) mengakui adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuh-penuhnya. Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa faktor antara lain:
1. Faktor Intern meliputi, pertama, Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James (dalam Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan konversi agama adalah jika seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya. Kedua, faktor pembawaan. Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak tengah kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2. Faktor Ekstern meliputi, pertama faktor keluarga. keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat dan alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya. Kedua, Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hinggakegelisahan batinnya hilang. Ketiga, Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya: perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, menikah dengan orang yang berbeda agama dan sebagainya. Keempat, Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan factor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
6. Para Ahli Ilmu Pendidikan,
Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap konversi agama namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.
7. Menurut Prof.DR.Zakiah. Daradjat (1986),
Faktor-faktor terjadinya konversi agama meliputi:
a. Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, orang-orang yang gelisah, di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang-kadang dia merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problema, itu mudah mengalami konversi agama. Di samping itu sering pula terasa ketegangan batin, yang memukul jiwa , merasa tidak tenteram, gelisah yang kadang-kadang terasa tidak ada sebabnya dan kadang-kadang tidak diketahui. Dalam semua konversi agama, boleh dikatakan, latar belakang yang terpokok adalah konflik jiwa (pertentangan batin) dan ketegangan perasaan, yang mungkin disebabkan oleh berbagai keadaan
b. Pengaruh hubungan dengan tradisi agama, diantara faktor-faktor penting dalam riwayat konversi itu, adalah pengalaman-pengalaman yang mempengaruhinya sehingga terjadi konversi tersebut. Diantara pengaruh yang terpenting adalah pendidikan orang tua di waktu kecil mempunyai pengaruh yang besar terhadap diri orang-orang, yang kemudian terjadi padanya konflik konversi agama, adalah keadaan mengalami ketegangan yang konflik batin itu, sangat tidak bisa, tidak mau, pengalaman di waktu kecil, dekat dengan orang tua dalam suasana yang tenang dan aman damai akan teringat dan membayang-bayang secara tidak sadar dalam dirinya. Keadaan inilah yang dlam peristiwa-peristiwa tertentu menyebabkan konversi tiba-tiba terjadi. Faktor lain yang tidak sedikit pengaruhnya adalah lembaga-lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gerejagereja. Melalui bimbingan lembaga-lembaga keagamaan itu, termasuk salah satu faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan mengalamkonflik jiwa atau ketegangan batin yang tidak teratasi.
c. Ajakan/seruan dan sugesti, banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa konversi agama terjadi karena pengaruh sugesti dan bujukan dari luar. Orang-orang yang gelisah, yang sedang mengalami kegoncangan batin, akan sangat mudah menerima sugesti atau bujukan-bujukan itu. Karena orang-orang yang sedang gelisah atau goncangan jiwanya itu, ingin segera terlepas dari penderitaannya, baik penderitaan itu disebabkan oleh keadaan ekonomi, sosial, rumah tangga, pribadi atau moral.
d. Faktor-faktor emosi, orang-orang yang emosionil (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh emosinya), mudah kena sugesti, apabila ia sedang mengalami kegelisahan. Kendatipun faktor emosi, secara lahir tampaknya tidak terlalu banyak pengaruhnya, namun dapat dibuktikan bahwa, emosi adalah salah satu faktor yang ikut mendorong kepada terjadinya konversi agama, apabila ia sedang mengalami kekecewaan.
e. Kemauan, kemauan yang dimaksudkan adalah kemauan seseorang itu sendiri untuk memeluk kepercayaan yang lain Selain faktor-faktor diatas, Sudarno (2000) menambahkan empat factor pendukung, yaitu:
f. Cinta, cinta merupakan anugrah yang harus dipelihara, tanpa cinta hidup tidak akan menjadi indah dan bahagia, cinta juga merupakan salah satu fungsi sebagai psikologi dan merupakan fitrah yang diberikan kepada manusia ataupun binatang yang banyak mempengaruhi hidupnya, seseorang dapat melakukan konversi agama karena dilkitaskan perasaan cinta kepada pasangannya.
g. Pernikahan, adalah salah suatu perwujudan dari perasaan saling mencintai dan menyayangi.
h. Hidayah “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikendaki- Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qasas:56) “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang
siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al An’am: 125) Ayat-ayat Al-Qur’an diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bagaimanapun usaha orang untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti keyakinannya, tanpa ada kehendak dari Allah SWT tidak akan bisa. Manusia diperintah oleh Allah SWT untuk berusaha, namun jangan sampai melawankehendak Allah SWT dengan segala pemaksaan.
i. Kebenaran agama, menurut Djarnawi (Sudarno, 2000) agama yang benar adalah yang tepat memilih Tuhannya, tidak keliru pilih yang bukan Tuhan dianggap Tuhan. Kebenaran agama yang dimaksud tidak karena paksaan, bujukan dari orang lain, akan tetapi lewat kesadaran dan keinsyafan antara lain melalui dialog-dialog, ceramah, mempelajari literatur, buku-buku dan media lain.

C. Proses Konversi Agama
Perubahan yang terjadi tetap melalui tahapan yang sama dalam bentuk kerangka proses secara umum, kerangka proses itu dikemukakan:
1. Carrier
Carrier (dalam Ramayulis, 2002) membagi proses tersebut dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Terjadi desintegrasi sintesis kognitif (kegoncangan jiwa) dan motivasi sebagai akibat dari krisis yang dialami.
b. Reintegrasi (penyatuan kembali) kepribadian berdasarkan konsepsi agama yang .Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur yang lama.
c. Tumbuh sikap menerima konsepsi (pendapat) agama yang baru serta peranan yang di tuntut oleh ajarannya.
d. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.
2. Prof.Dr.Zakiah Daradjat
Prof.Dr. Zakiah. Daradjat (1979) memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
a. Masa tenang, disaat ini kondisi seseorang berada dalam keadaan yang tenang karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi semacam sikap apriori (belum mengetahui) terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tentram. Segala sikap dan tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh atau menentang agama.
b. Masa ketidaktenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Mungkin di karenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang di alami.Hal tersebut menimbulkan semacam kegoncangan dalam kehidupan batin sehingga menyebabkan kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa, ragu, tegang dan bimbang. Perasaan tersebut menyebabkan seseorang lebih sensitif dan hampirhampir putus asa dalam hidupnya dan mudah terkena sugesti. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
c. Masa konversi, tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, hidup yang tadinya seperti dilamun ombak atau di porak porkitakan oleh badai topan persoalan, tiba-tiba angin baru berhembus, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk ilahi. Karena disaat ketenangan batin itu terjadi dilkitaskan atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama.
d. Masa tenang dan tentram, masa tenang dan tentram yang kedua ini berbeda dengan tahap yang sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketentraman pada tahap ketiga ini di timbulkan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah di ambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. Setelah krisis konversi lewat dan masa menyerah di lalui, maka timbullah perasaan atau kondisi jiwa yang baru, rasa aman dan damai di hati, tiada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada kesalahan yang patut di sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan menjadi mudah dan terselesaikan. lapang Dada, menjadi pemaaf dan dengan mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain.
e. Masa ekspressi konversi, sebagai ungkapan dari sikap menerima, terhadap konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya, maka tindak tanduk dan sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan.
3. Wasyim.
Menurut Wasyim (dalam Sudarno, 2000) secara garis besar membagi proses konversi agama menjadi tiga, yaitu:
a. Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditkitai dengan adanya konflik dan perjuangan mental aktif.
b. Adanya rasa pasrah
c. Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya
realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya..

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Kesimpulan Pengertian Konversi Agama
Yang dimaksud dengan konversi agama ialah: perobahan pkitangan seseorang atau sekelompok orang tentang agama yang dianutnya, atau perpindahan keyakinan dari agama yang dianutnya kepada agama yang lain.
1. Jenis konversi agama dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:
1. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama.
2. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama keagama lain.
3. Faktor penyebab konversi agama pertama, faktor Intern, meliputi kepribadian, emosi, kemauan, konflik jiwa, kebenaran agama, hidayah. kedua, faktor ekstern, meliputi, factor keluarga, lingkungan tempat tinggal, pengaruh hubungan dengan tradisi agama, cinta, pernikahan.
Tahap Proses Konversi Agama meliputi: masa tenang, masa ketidaktenangan, masa konversi, masa tenang dan tentram, masa ekspressi konversi.

BAB IV
PENUTUP

Demikian pemaparan makalah kelompok kami yang bertemakan tentang “ Konvensi Agama “. Dimana menjelaskan tentang Pengertian, Faktor- faktor dan Proses konvensi agama.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan kami dalam menyusun makalah ini. Tetapi kami yakin suatu kesalahan itu merupakan bagian dari suatu proses pembelajaran, seperti pepatah asing mengatakan ‘experience is the best teacher’ artinya pengalaman adalah guru yang berharga. Untuk itu demi proses pembelajaran yang baik kami sangat mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, supaya dalam penyusunan makalah selanjutnya dapat tersusun lebih baik lagi.
Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, sehingga makalah ini dapat tersusun dan dapat dipaparkan. Harapannya dapat bermanfaat bagi kita semua .

Rabu, 18 Januari 2012

kumpulan makalah mahasiswa STAI- MU: contoh makalah kurikulum

kumpulan makalah mahasiswa STAI- MU: contoh makalah kurikulum: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang             lstilah kurikulum awal mulanya digunakan dalam dunia olah raga pada zaman Yunan...

makalh tarik tasri




TARIK TASYRI’ PADA MASA KHULAFAUR-ROSYIDIN
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada masa dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di kendalikan oleh sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta sejarah mengatakan bahwa rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti beliau dalam roda kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada tatanan Islam yang memang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh, mereka mulai berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah satu sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir adalah Ali Bin Abi Tholib.

Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam menentukan hokum Islam selalu berpegang pada fatwa rasul yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat menemukan yang memang dalam fatwa rasul tidak ada, mereka berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat keislaman yang di sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.


Tasyri’ pada masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana suatu penetapan hokum juga sudah berbau politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup semua permasalahan langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan mungkin pula ada banyak perbedaan penentuan hokum melihat pada tatanan social politik kala itu. Mereka sudah mulai berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat yang di lihat pada tatanan sosialnya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana kondisi tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin, dan faktor-faktor penyebab perkembangannya?
2. Apa saja yang menjadi sumber tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin?
3. Bagaimana karakteristik tasyri’ pada masa khulafaurrasyidin?
4. Apakah sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat?










BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin dan Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya

Apabila tahap pertumbuhan dan perkembangan hokum Islam diamati sesudah periode Nabi Muhammad saw dalam literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan 4 (empat) tahapan, yaitu (a) Masa Khulafaurrasyidin (632-662 M); (b) Masa Pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad ke 7-10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke 10-19M); (d) Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 M sampai saat ini).

Masa Khulafaurrasyidin (632 M-662 M) ditandai dengan wafatnya Nabi Muhammad
saw, yaitu berhenti wahyu turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik wahyu yang turun di Mekah maupun di Madinah. Demikian juga hadis dan/atau sunnah berakhir pula dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Alloh tidak dapat digantikan oleh manusia lainnya termasuk sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam sekaligus sebagai kepala negara harus di lanjutkan oleh orang lain. Pengganti Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara disebut khalifah.
Pejabat kekhalifahan yang disebut Khulafaurrasyidin ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddieq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi periode Khulafaurrasyidin meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hokum yang rinci di dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya.

Oleh karena itu, Khulafaurrasyidin menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hokum di pengadilan, dan lain-lain budayahukum di Damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko, Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang diterima oleh Rosululloh saw, dan terbukalah pintu istinbat terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat, sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan nash-nash hokum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Khulafaurrasyidin bergabung dalam kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rosululloh saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Memang hal seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi bukan berarti Khulafaurrasyidin memiliki wewenang mutlak untuk mengganti syari’at yang telah di ajarkan oleh Nabi.

Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi belum ada. Sebelum mengetahui pengaruh fatwa terhadap perkembangan hokum, terlebih dahulu kita perlu mengetahui persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat. Berikut di antara persoalan penting yang di hadapi oleh sahabat.

a. Sahabat khawatir akan kehilangan Al-Quran karena banyaknya sahabat yang hafal Al-Quran meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.

b. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap Al-Quran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.

c. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah Rosululloh Saw.

d. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.

e. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat, karena Islam adalah petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-Quran dan Sunnah.

Pada masa ini perkembangan Islam semakin luas ke segala arah, sehingga banyak ditemukan kasus-kasus baru yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Pada kesempatan inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti ( konsultan ) dalam masalah hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah yang banyak berinteraksi dengan Rosululloh Saw. Merekalah yang paling sering mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering menyaksikan sebab-sebab turunnya suatu ayat ( asbabun-nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang menjadi peserta sidang dalam mesyawarah-musyawarah yang di selenggarakan Rosululloh Saw. Diantara para sahabat yang bertindak sebagai mufti antara lain :

1. Di Madinah : Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti Aisyah.

2. Di Makkah : Abdulloh bin Abbas.

3. Di Kuffah : Ali bin Abi Thalib dan Abdulloh bin Mas’ud.

4. Di Syam : Mu’adz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir.


Pada mulanya para mufti berdomisili di Madinah, dengan berkembangnya syiar Islam, maka mereka berpencar ke daerah-daerah maupun ke kota-kota. Para sahabat, khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi juga melebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Ini untuk pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan persoalan baru, penyelesaian atas masalah moral, etika, kultural dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik.

Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqih pada periode ini. Daerah-daerah yang di buka dan “diislamkan” saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para Fuqaha, sahabat untuk memberikan “hukum” pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan.

Para Khulafaurrasyidin dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap Al-Quran dan Sunnah, menyikapi persoalan-persoalan yang dating dengan langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash dalam Al-Quran dan Hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang mereka menemukan dalam dua sumber syariat Islam tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al-Quran dan Hadits untuk di aplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.


Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sinimuncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non-muslim. Para Fuqaha untuk kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini, termasuk disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.

B. Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah
(a) Al-Quran;
(b) Sunnah, dan
(c) jtihad (ra’yu).

Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus. Hasil musyawarah sahabat disebut Ijmak. Al-Quran pada masa ini sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin Affan setelah dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar.
Adapun smber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap dilakukan, sehingga kenbenaran riwayatnya dijamin. Abu Bakar misalnya, beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasululloh, demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya. Kemudian sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad. Para sahabat dalam berpendapat tidak selalu sama, artinya pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam masalah ‘iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya ‘iddahnya 4 bulan 10 hari, kemudian dalam surat At-Thalaq ayat 4 dijelaskan bahwa wanita yang hamil ‘iddahnya sampai dia melahirkan. Lalu persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal mati oleh suaminya. Menurut Ali dan Ibnu Abbas ‘iddahnya diambil yang lebih panjang diantara dua masalah tersebut ( 4 bulan 10 hari dan sampai melahirkan), sementara menurut Umar, ‘iddahnya sampai melahirkan.

Kita ketahui secara pasti bahwa kasus-kasus yang telah ditetapkan hukumnya oleh para sahabat sangat banyak jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan terus dilakukan, namun tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa diberikan ketetapan hukumnya. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru, para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi peperangan, karenanya kembali kepada Al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafalkan, tetapi nasib hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat pada Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis sebagai antisipasi hilangnya Al-Quran karena banyaknya orang-orang Islam yang hafal Al-Quran gugur dalam pertempuran. Dan dengan tujuan penulisan ini pula ditemukannya keseragaman Al-Quran dalam bacaan dan penulisan. Mushaf yang diusahakan oleh Khalifah Utsman ( 624-630 M ) itu disebut Mushaf Utsmani. Sedangkan penulis hadits secara tertib berjarak lebih dari satu abad dari penulisan Al-Quran. Namun demikian sumber hhukum Islam di masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Berdasarkan kedua sumber itulah para Sahabat dan Khalifah berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.

Alasan para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Al-Sunnah ialah karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang memeritahkan taat kepada Alloh dan Rasul, mengembalikan sesuatu yang dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta berserah kepada apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rasul.

Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena mereka melihat Rasululloh melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Rasul bertanya kepada Mu’adz, “Dengan apa Engkau menghukumi sesuatu?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Kitab Alloh.” Rasul bertanya, ”Jika tidak kamu jumpai (dalam Kitab Alloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya menghukumi dengan Sunnah Rasululloh.” Rasul bertanya, “Jika tidak kamu jumpai(dalam Sunnah Rasululloh)?” Jawab Mu’adz, “Saya berijtihad dengan pendapatku.” Kemudian Rasul membenarkannya seraya memuji Alloh atas limpahan Taufik-Nya.




C. Karakteristik Tasyri’ Pada Masa Khulafaur Rasyidin

Tidak setiap orang Islam mampu mengembalikan berbagai persoalan pada materi undang-undang serta mampu memahami hukum-hukum yang ditunjuk oleh Nash. Ini bias dimaklumi karena, dari aspek pertama, terdapat umat Islam yang tergolong “awam”, yang baru bias memahami nash melalui perantara orang yang lebih “pandai” dan memahami seluk beluk penafsiran nash.

Aspek kedua ialah, bahwa materi undang-undang belum tersebar di kalangan umat Islam secara merata. Nash-nash Al-Quran pada permulaan periode ini baru dibukukan dalam lembaran-lembaran khusus yang disimpan di rumah Rasuldan di rumah sementara sahabatnya, sedangkan Al-Sunnah sama sekali belum dibukukan.

Aspek ketiga ialah, bahwa materi undang-undang mensyariatkan hukum bagi kejadian dan urusan peradilan yang terjadi ketika di-tasyri’kannya hukum-hukum itu, tidak mensyariatkan hukum-hukum bagi peristiwa yang dibayangkan kemungkinan terjadinya.

Dengan adanya tiga sebab itu, maka para pemuka sahabat berpendapat bahwa di atas pundak merekalah kewajiban tasyri’ wajib mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud adalah memberi penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Al-Sunnah, dan menyebarluaskan di kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran dan Hadits Rasul, serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya. Mereka itulah tokoh-tokoh pengendali kekuasaan tasyri’ dalam periode ini, dan mereka itulah yang menggantikan Rasul dan tempat bertanya umat Islam tentang berbagai persoalan. Para pemuka sahabat memangku hak tasyri’ bukan karena pengangkatan Khalifah atau pemilihan umat, melainkan karena keistimewaan pribadi yang di milikinya. Para sahabat telah lama bergaul dengan Rasul, serta menghafal Al-Quran dan Al-Sunnah, para sahabat menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan sebab-sebab datangnya Sunnah, banyak di antara mereka adalah teman bermusyawarah Rasul dalam berijtihad. Karena keistimewaan inilah, maka para sahabat mampu menjelaskan nash-nash dan mampu berijtihad dalam persoalan yang tidak ada rujukan nashnya. Para sahabat adalah tempat bertanya umat Islam, dan umat Islam mempercayai apa yang dating dari para sahabat, baik yang berupa penjelasan maupun yang berupa fatwa.

Perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin pada periode Abu Bakar, tasyri’ tidak banyak mengalami perkembangan, periode ini lebih menekankan konsolidasi kedalam dari pada melakukan ekspansi. Adapun metode yang di pakai Abu Bakar dalam menetapkan hukum adalah apabila masalah tersebut tidak ada dalam nash, maka Abu Bakar mengumpulkan para sahabat dalam majlis tasyri’, dari hasil majlis tersebut maka di anggap sebagai keputusan bersama dan harus dijalankan oleh ummat Islam waktu itu, sehingga perbedaan pendapat tidak banyak terjadi pada periode ini.

Masa pemerintahan Khulafaurrasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam, karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di zaman mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan hukum Islam pada waktu itu.

Umat Islam telah berusaha sungguh-sungguh dalam meriwayatkan ayat Al-Quran, dan mengisnadkan para perawinya, sehingga tidak timbul perbedaan sama sekali dalam segi ini. Adapun sumber perundang-undangan yang kedua, yaitu nash-nash hukum dalam Al-Sunnah belum di bukukan pada periode ini, sebagaimana Al-Sunnah secara keseluruhan juga belum di bukukan. Dalam periode ini Khalifah kedua yakni ‘Umar Ibn Khattab, telah memikirkan pembukuan Al-Sunnah. Namun, sesudah beliau bertukar pikiran dan bermusyawarah dengan para sahabat, beliau khawatir terhadap pembukuan Al-Sunnah. Mengapa? Karena waktu itu hanya dikenal satu versi Al-Sunnah dari ‘Abdullah Ibn ‘Amr Ibn Al-‘Ash yang mempunyai sebuah lembaran bernama Al-Shadiq, yang menghimpun hadits-hadits yang di dengar dari Rasululloh. Pengumpulan hadits dan rencana pembukuan Al-Sunnah dilakukan oleh para sahabat dengan sangat hati-hati dan selektif, terutama dari aspek perawinya. Abu Bakar hanya menerima hadits dari seorang perawi yang benar-benar di perkuat oleh seorang saksi. Umar Ibn Khattab meminta si perawi hadits mendatangkan bukti bahwa ia benar-benar telah meriwayatkannya, sedangkan Ali Ibn Abi Thalib meminta agar si perawi hadits bersumpah.




D. Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat dikalangan Sahabat

Setelah Nabi Saw wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum ; Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Quran setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh Ahlul Bait. Hanya mereka menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang harus dirujuk dalam menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini kelak dikenal sebagai kelompok Syi’ah. Sedangkan menurut kelompok yang kedua, sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan menetapkan perintah Allah. Al-Quran dan Al-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai kelompok Ahlu Sunnah atau Sunni.

Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat dibedakan menjadi tiga ; yang pertama, perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Al-Quran ; Kedua, perbedaan yang disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang ketiga, perbedaan pendapat dalam menggunakan ra’yu ( intervensi akal ).




Sebab-sebab perbedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-Quran diantaranya sebagai berikut :

a. Dalam Al-Quran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytirak). Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 228 : “yang di ceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’.” Kata quru’ mengandung dua arti ; al-haidl dan al-thuhr.
b. Hukum yang ditentukan Al-Quran masing-masing “berdiri sendiri” tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua sebab dalam satu kasus. Misalnya, dalam Al-Quran terdapat ketentuan bahwa waktu tunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai karena suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari, dan waktu tunggu bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil (‘iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua ayat tersebut tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang hamil ditinggal wafat suaminya. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbasy berpendapat bahwa ‘iddah yang berlaku bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah ‘iddah yang terpanjang antara dua ‘iddah tersebut. Sedangkan Abdullah Ibn Mas’ud berpendapat, bahwa yang berlaku adalah ‘iddah hamil, sebab ayat tentang ‘iddah hamil diturunkan setelah ayat ‘iddah wafat, yang berlaku konsep Naskh.
Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan Sunnah adalah sebagai berikut :

a. Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap Sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaannya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada yang intensif ada yang tidak, ada yang lebih awal masuk Islam ada yang terakhir.

b. Kadang-kadang riwayat sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada sahabat yang lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’yu karena ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah r.a berpendapat bahwa orang yang masih junub pada waktu subuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, “man ashbaha junuban fala shouma lahu”. Kemudian pendapat ini di dengar oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan peristiwa dengan Nabi Saw sebagai alas an. Maka Abu Hurairah menarik kembali pendapatnya.

c. Sahabat berbeda pendapat dalam menta’wilkan Sunnah. Umpamanya, Thowaf sebagian besar sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf adalah Sunnah, sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf tidak Sunnah.

Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu, diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan ali tentang perempuan yang menikah dalam waktu tunggunya. Umar berpendapat, perempuan yang menikah dalam waktu tunggu, apabila belum dukhul harus dipisah, ia harus menyelesaikan waktu tunggunya, apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua waktu tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami berikutnya. Sedangkan menurut Ali perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan waktu tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak melakukan pelanggaran.

Menurut para ahli, timbulnya perbedaan pendapat dikalangan sahabat disebabkan adanya beberapa factor, setidaknya kita perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.

Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits. Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi di kalangan sahabat seperti persoalan quru’. Adanya ayat-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam Surat Al-Baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Zaid bin Tsabit, quru’ berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang menguatkan salah satu dari nash ( at-Tarjih ), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka diterapkan teori nash.

Ketiga, sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari Sunnah, sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai Hadits Shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat terhadap periwayatan Hadits. Beberapa Hadits yang dijadikan sebagai sumber hukum oleh sebagian Fuqaha ditolak oleh Fuqaha lain sebab berbagai alas an. Selektifnya penerimaan periwayatan Hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk mengamalkan Hadits di lain pihak, terutama dikalangan Ulama Madinah.
Keempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para sahabat. Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan Fiqh Islam.
Kelima, ini mungkin yang terpenting, kebebasan dan kesungguhan para sahabat periode Khulafaurrasyidin dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.

Keenam, perbedaan mereka dalam menerima Hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima Hadits dengan jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka . Bagi yang dekat dengan Rasulullah praktis saja mereka banyak menerima Hadits, demikian sebaliknya.











BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan

Khulafaurrasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat berkedudukan sebagai musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin Rasul Saw.

Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu ). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’. Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang mempengaruhi adalah sifat Al-Quran, dan Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping sosiokultur yang jelas sangat mempengaruhi.
Perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin sangat hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas dari konteks social, tetapi dimensi social itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika yang bermunculan.



DAFTAR PUSTAKA

Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), 68

M. Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), 56
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1,

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), 37

http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, Sirry Mun’im,
Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995),

http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal

Sabtu, 14 Januari 2012


KATA PENGANTAR

            Pertama-tama kami mengucapkan puji dan syukur kepada Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas kami ini dapat terealisasi dengan baik. Salawat dan Salam senantiasa dipanjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW sebagai Uswatun Hasanah bagi hidup dan kehidupan kita di muka bumi ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas ini.

Saya yang membuat makalah ini mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan tugas ini yang telah kami selesaikan. Tidak semua hal dapat menulis dengan sempurna dalam tugas ini. Namun kami disini melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kami miliki.

           Maka dari itu seperti yang telah saya jelaskan, bahwa kami memiliki keterbatasan dan juga kekurangan, selalu bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang budiman. Kami akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu loncatan yang dapat memperbaiki Makalah ini di masa datang.


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI……………………………………………………...…………… iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
A. Latar Belakang………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………….. 2
A. Pengertian Konversi Agama …………………………………………. 2
B. Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama ……………………………. 5
C. Proses Konversi Agama ………………………………………………13
BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………17
A. Kesimpulan ……………………………………………………………. 17
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………… 18
DAFTAR PUSTAKA …………………………






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Dampak yang paling menonjol dari modernitas adalah keterasingan (alienasi) yang dialami oleh manusia. Alienasi muncul dari cara pkitang dualisme, yaitu: jiwa-badan, makhluk-Tuhan, aku-yang lain, kapitalis-proletar, dll. Akhirnya terjadilah gejala reifikasi atau pembedaan antar sisi dari dualitas tersebut. Ini disebut pula objektivikasi, yaitu manusia memkitang dirinya sebagai objek, seperti layaknya sebuah benda.

            Dalam filsafat kita mengenalnya dengan aliran materialisme. Semakin kuat pengaruh materialisme, semakin kuat pula gejala alienasi (keterasingan) diderita umat manusia. Kita pasti tidak menghendaki filosofi akan berdampak sedemikian menyedihkan. Dan masyarakat dunia Barat adalah yang paling menderita karena materialisme memang berkembang biak sangat subur di sana.

            Degradasi moral sering terjadi karena manusia tidak mampu mengatasi penyakit jiwa manusia modern ini. Narkotika, seks bebas, bahkan bunuh diri sering menjadi pelarian. Hidup tampaknya menjadi tidak berarti lagi. Mereka yang tertolong atau segera menemukan pencerahan dari kekelaman jiwa ini akan bangkit dan memeluk suatu keyakinan yang baru. Suatu keyakinan yang akan membuat hidupnya terasa lebih berarti, hidup yang bertujuan, yaitu kembali kepada Tuhannya. Terjadilah pembalikan arah, atau konversi. Dalam bahasa agama disebut pertobatan (taubat, metanoia).

















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konversi Agama
    1. Pengertian Konversi Agama Menurutu Etimologi.
           Pengertian konversi agama menurut etimologi konversi berasal dari kata latin “conversio” yang berarti tobat, pindah, berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata Inggris “conversion” yang mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan, atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another). Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat di simpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian (berlawanan arah) terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama.
1. Heirich.
            Heirich (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan bahwa konversi agama adalah “Merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya”
2. James
            James (dalam Ramayulis, 2002) mengatakan konversi agama adalah dengan kata kata: “to be converted, to be regenerated, to recive grace, to experience religion, to gain an assurance, are so many phrases which denote to the process, gradual or sudden, by which a self hitherro devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer hold upon religious realities”. “berubah, digenerasikan, untuk menerima kesukaan, untuk menjalani pengalaman beragama, untuk mendapatkan kepastian adalah banyaknya ungkapan pada proses baik itu berangsur-angsur atau tiba-tiba, yang di lakukan secara sadar dan terpisah-pisah, kuran bahagia dalam konsekuensi penganutnya yang berlkitaskan kenyataan beragama”.

3. E.Clark
            Clark (dalam Daradjat, 1979), “Memberikan definisi konversi sebagai berikut: konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindak agama. Lebih jelas dan lebih tegas lagi, konversi agama menunjukan bahwa suatu perubahan emosi yang tiba-tiba kearah mendapat hidayah Allah SWT secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula terjadi perubahan tersebut secara berangsur-angsur.”

Ciri-ciri seseorang melakukan konversi agama, menurut Ramayulis (2002) adalah:
1. Adanya perubahan arah pkitangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
2. Perubahan yang terjadi di pengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berperoses atau secara mendadak.
3. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pkitangan terhadap agama yang di anutnya sendiri.
4. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itupun disebabkan faktor petunjuk dari yang maha kuasa.
5. Jenis Konversi Agama
Menurut Moqsith, jenis-jenis konversi agama di bedakan menjadi dua, yaitu:
1. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama.
2. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama keagama lain.
Menurut Abdalla, senada dengan apa yang telah di ungkapkan Moqsith, konversi internal terjadi dalam satu agama, dalam artian pola pikir dan pkitang seseorang berubah, ada yang dihilangkan dan tidak menutup kemungkinan banyak yang ditambahkan (ibadah), tetapi konsep ketuhanan tetap sama. Sedangkan dalam konversi eksternal pindah keyakinan ke konsep yang benar-benar berbeda dengan konsep keyakinan sebelumnya. Dari uraian di atas maka dapat di simpulkan bahwa pengertian konversi agama adalah merupakan suatu tindakan dimana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah kesuatu sistem kepercayaan atau perilaku ke system kepercayaan yang lain.

B. Faktor-Faktor Penyebab Konversi Agama
1. Penido
(dalam Ramayulis, 2002), berpendapat bahwa konversi agama mengandung dua unsur:
a. Unsur dari dalam diri (endogenos origin)
yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang di ambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
b. Unsur dari luar (exogenous origin)
yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang berasal dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan. Sedangkan berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan factor yang manjadi pendorong konversi (Motivasi konversi). James dan Heirich (dalam Ramayulis, 2002), banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut menurut pendapat dari para ahli yang terlibat dalam berbagai disiplin ilmu, masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama di sebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
2. Para Ahli Agama,
Para ahli agama menyatakan bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok.
3. Para Ahli Sosiologi,
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama karena pengaruh sosial. Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai faktor antara lain:
a. Pengaruh hubungan antara pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama (kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang keagamaan yang lain).
b. Pengaruh kebiasaan yang rutin. Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jka dilakukan secara rutin hingga terbiasa. Misal, menghadiri upacara keagamaan.
c. Pengaruh anjuran atau propagkita dari orang-orang yang dekat, misalnya: karib, keluarga, famili dan sebagainya.
d. Pengaruh pemimpin keagamaan. Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu pendorong konversi agama.
e. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi. Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
f. Pengaruh kekuasaan pemimpin. Yang dimaksud disini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum. Misal, kepala Negara, raja. Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara pesuasif (secara halus) dan pengaruh yang bersifat koersif (memaksa).
4. Para Ahli Ilmu Jiwa,
Para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah faktor psikologis yang ditimbulkan oleh factor intern maupun faktor ekstern. Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga ia mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang tenang dan tentram.
5. James,
Dalam uraiannya James (dalam Ramayulis, 2002) yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai berikut:
a. Konversi terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap.
b. Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses).
Kemudian James mengembangkan Faktor Penyebab konversi itu menjadi beberapa tipe yaitu :
Pertama, tipe Volitional (perubahan bertahap), konversi agama ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran.
Kedua, tipe Self-Surrender (perubahan drastis), konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya.
Pada konversi agama tipe kedua ini James (dalam, Ramayulis, 2002) mengakui adanya pengaruh petunjuk dari Yang Maha Kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuh-penuhnya. Masalah-masalah yang menyangkut terjadinya konversi agama tersebut berdasarkan tinjauan psikologi tersebut yaitu dikarenakan beberapa faktor antara lain:
1. Faktor Intern meliputi, pertama, Kepribadian. Secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehiduan jiwa seseorang. Dalam penelitiannya, James (dalam Ramayulis, 2002) menemukan bahwa tipe melankolis (orang yang bertipe melankolis memiliki sifat mudah sedih, mudah putus asa, salah satu pendukung seseorang melakukan konversi agama adalah jika seseorang itu dalam keadaan putus asa) yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya. Kedua, faktor pembawaan. Menurut Sawanson (dalam Ramayulis, 2002) ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa, karena pada umumnya anak tengah kurang mendapatkan perhatian orangtua. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
2. Faktor Ekstern meliputi, pertama faktor keluarga. keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat dan alinnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya. Kedua, Lingkungan tempat tinggal. Orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hinggakegelisahan batinnya hilang. Ketiga, Perubahan status. Perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya: perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, menikah dengan orang yang berbeda agama dan sebagainya. Keempat, Kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan factor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama.
6. Para Ahli Ilmu Pendidikan,
Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap konversi agama namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.
7. Menurut Prof.DR.Zakiah. Daradjat (1986),
Faktor-faktor terjadinya konversi agama meliputi:
a. Pertentangan batin (konflik jiwa) dan ketegangan perasaan, orang-orang yang gelisah, di dalam dirinya bertarung berbagai persoalan, yang kadang-kadang dia merasa tidak berdaya menghadapi persoalan atau problema, itu mudah mengalami konversi agama. Di samping itu sering pula terasa ketegangan batin, yang memukul jiwa , merasa tidak tenteram, gelisah yang kadang-kadang terasa tidak ada sebabnya dan kadang-kadang tidak diketahui. Dalam semua konversi agama, boleh dikatakan, latar belakang yang terpokok adalah konflik jiwa (pertentangan batin) dan ketegangan perasaan, yang mungkin disebabkan oleh berbagai keadaan
b. Pengaruh hubungan dengan tradisi agama, diantara faktor-faktor penting dalam riwayat konversi itu, adalah pengalaman-pengalaman yang mempengaruhinya sehingga terjadi konversi tersebut. Diantara pengaruh yang terpenting adalah pendidikan orang tua di waktu kecil mempunyai pengaruh yang besar terhadap diri orang-orang, yang kemudian terjadi padanya konflik konversi agama, adalah keadaan mengalami ketegangan yang konflik batin itu, sangat tidak bisa, tidak mau, pengalaman di waktu kecil, dekat dengan orang tua dalam suasana yang tenang dan aman damai akan teringat dan membayang-bayang secara tidak sadar dalam dirinya. Keadaan inilah yang dlam peristiwa-peristiwa tertentu menyebabkan konversi tiba-tiba terjadi. Faktor lain yang tidak sedikit pengaruhnya adalah lembaga-lembaga keagamaan, masjid-masjid atau gerejagereja. Melalui bimbingan lembaga-lembaga keagamaan itu, termasuk salah satu faktor penting yang memudahkan terjadinya konversi agama jika pada umur dewasanya ia kemudian menjadi acuh tak acuh pada agama dan mengalamkonflik jiwa atau ketegangan batin yang tidak teratasi.
c. Ajakan/seruan dan sugesti, banyak pula terbukti, bahwa diantara peristiwa konversi agama terjadi karena pengaruh sugesti dan bujukan dari luar. Orang-orang yang gelisah, yang sedang mengalami kegoncangan batin, akan sangat mudah menerima sugesti atau bujukan-bujukan itu. Karena orang-orang yang sedang gelisah atau goncangan jiwanya itu, ingin segera terlepas dari penderitaannya, baik penderitaan itu disebabkan oleh keadaan ekonomi, sosial, rumah tangga, pribadi atau moral.
d. Faktor-faktor emosi, orang-orang yang emosionil (lebih sensitif atau banyak dikuasai oleh emosinya), mudah kena sugesti, apabila ia sedang mengalami kegelisahan. Kendatipun faktor emosi, secara lahir tampaknya tidak terlalu banyak pengaruhnya, namun dapat dibuktikan bahwa, emosi adalah salah satu faktor yang ikut mendorong kepada terjadinya konversi agama, apabila ia sedang mengalami kekecewaan.
e. Kemauan, kemauan yang dimaksudkan adalah kemauan seseorang itu sendiri untuk memeluk kepercayaan yang lain Selain faktor-faktor diatas, Sudarno (2000) menambahkan empat factor pendukung, yaitu:
f. Cinta, cinta merupakan anugrah yang harus dipelihara, tanpa cinta hidup tidak akan menjadi indah dan bahagia, cinta juga merupakan salah satu fungsi sebagai psikologi dan merupakan fitrah yang diberikan kepada manusia ataupun binatang yang banyak mempengaruhi hidupnya, seseorang dapat melakukan konversi agama karena dilkitaskan perasaan cinta kepada pasangannya.
g. Pernikahan, adalah salah suatu perwujudan dari perasaan saling mencintai dan menyayangi.
h. Hidayah “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikendaki- Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS. Al-Qasas:56) “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang
siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (QS. Al An’am: 125) Ayat-ayat Al-Qur’an diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bagaimanapun usaha orang untuk mempengaruhi seseorang untuk mengikuti keyakinannya, tanpa ada kehendak dari Allah SWT tidak akan bisa. Manusia diperintah oleh Allah SWT untuk berusaha, namun jangan sampai melawankehendak Allah SWT dengan segala pemaksaan.
i. Kebenaran agama, menurut Djarnawi (Sudarno, 2000) agama yang benar adalah yang tepat memilih Tuhannya, tidak keliru pilih yang bukan Tuhan dianggap Tuhan. Kebenaran agama yang dimaksud tidak karena paksaan, bujukan dari orang lain, akan tetapi lewat kesadaran dan keinsyafan antara lain melalui dialog-dialog, ceramah, mempelajari literatur, buku-buku dan media lain.

C. Proses Konversi Agama
Perubahan yang terjadi tetap melalui tahapan yang sama dalam bentuk kerangka proses secara umum, kerangka proses itu dikemukakan:
1. Carrier
Carrier (dalam Ramayulis, 2002) membagi proses tersebut dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Terjadi desintegrasi sintesis kognitif (kegoncangan jiwa) dan motivasi sebagai akibat dari krisis yang dialami.
b. Reintegrasi (penyatuan kembali) kepribadian berdasarkan konsepsi agama yang .Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur yang lama.
c. Tumbuh sikap menerima konsepsi (pendapat) agama yang baru serta peranan yang di tuntut oleh ajarannya.
d. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.
2. Prof.Dr.Zakiah Daradjat
Prof.Dr. Zakiah. Daradjat (1979) memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
a. Masa tenang, disaat ini kondisi seseorang berada dalam keadaan yang tenang karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi semacam sikap apriori (belum mengetahui) terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tentram. Segala sikap dan tingkah laku dan sifat-sifatnya acuh tak acuh atau menentang agama.
b. Masa ketidaktenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Mungkin di karenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang di alami.Hal tersebut menimbulkan semacam kegoncangan dalam kehidupan batin sehingga menyebabkan kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa, ragu, tegang dan bimbang. Perasaan tersebut menyebabkan seseorang lebih sensitif dan hampirhampir putus asa dalam hidupnya dan mudah terkena sugesti. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
c. Masa konversi, tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, hidup yang tadinya seperti dilamun ombak atau di porak porkitakan oleh badai topan persoalan, tiba-tiba angin baru berhembus, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk ilahi. Karena disaat ketenangan batin itu terjadi dilkitaskan atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama.
d. Masa tenang dan tentram, masa tenang dan tentram yang kedua ini berbeda dengan tahap yang sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketentraman pada tahap ketiga ini di timbulkan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah di ambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. Setelah krisis konversi lewat dan masa menyerah di lalui, maka timbullah perasaan atau kondisi jiwa yang baru, rasa aman dan damai di hati, tiada lagi dosa yang tidak diampuni Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada kesalahan yang patut di sesali, semuanya telah lewat, segala persoalan menjadi mudah dan terselesaikan. lapang Dada, menjadi pemaaf dan dengan mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain.
e. Masa ekspressi konversi, sebagai ungkapan dari sikap menerima, terhadap konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya, maka tindak tanduk dan sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan.
3. Wasyim.
Menurut Wasyim (dalam Sudarno, 2000) secara garis besar membagi proses konversi agama menjadi tiga, yaitu:
a. Masa Gelisah (unsert), kegelisahan atau ketidaktenangan karena adanya gap antara seseorang yang beragama dengan Tuhan yang di sembah. Ditkitai dengan adanya konflik dan perjuangan mental aktif.
b. Adanya rasa pasrah
c. Pertumbuhan secara perkembangan yang logis, yakni tampak adanya
realisasi dan ekspresi konversi yang dialami dalam hidupnya..

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Kesimpulan Pengertian Konversi Agama
Yang dimaksud dengan konversi agama ialah: perobahan pkitangan seseorang atau sekelompok orang tentang agama yang dianutnya, atau perpindahan keyakinan dari agama yang dianutnya kepada agama yang lain.
1. Jenis konversi agama dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:
1. Konversi internal, terjadi saat seseorang pindah dari mazhab dan perspektif tertentu ke mazhab dan perspektif lain, tetapi masih dalam lingkungan agama yang sama.
2. Konversi eksternal, terjadi jika seseorang pindah dari satu agama keagama lain.
3. Faktor penyebab konversi agama pertama, faktor Intern, meliputi kepribadian, emosi, kemauan, konflik jiwa, kebenaran agama, hidayah. kedua, faktor ekstern, meliputi, factor keluarga, lingkungan tempat tinggal, pengaruh hubungan dengan tradisi agama, cinta, pernikahan.
Tahap Proses Konversi Agama meliputi: masa tenang, masa ketidaktenangan, masa konversi, masa tenang dan tentram, masa ekspressi konversi.

BAB IV
PENUTUP

Demikian pemaparan makalah kelompok kami yang bertemakan tentang “ Konvensi Agama “. Dimana menjelaskan tentang Pengertian, Faktor- faktor dan Proses konvensi agama.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan kami dalam menyusun makalah ini. Tetapi kami yakin suatu kesalahan itu merupakan bagian dari suatu proses pembelajaran, seperti pepatah asing mengatakan ‘experience is the best teacher’ artinya pengalaman adalah guru yang berharga. Untuk itu demi proses pembelajaran yang baik kami sangat mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, supaya dalam penyusunan makalah selanjutnya dapat tersusun lebih baik lagi.
Tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, sehingga makalah ini dapat tersusun dan dapat dipaparkan. Harapannya dapat bermanfaat bagi kita semua .


contoh makalah kurikulum


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            lstilah kurikulum awal mulanya digunakan dalam dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno. Curriculum berasal dan kata Curir, artinya pelari; dan curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan “jarak yang harus ditempuh” oleh pelari. Dari makna yang terkandung dalam kata tersebut, kurikulum secara sederhana diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh/diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah.

            Pada tahun 1950-an muncul dugaan kuat bahwa sekolah memiliki kecenderungan kuat untuk mempengaruhi kehidupan murid dengan program-program pendidikannya. Sementara anak juga memproleh pengalaman di luar yang diprogramkan oleh sekolah. Karenanya mereka memahami kurikulum sebagai semua aspek yang diprogramkan sekolah. Kurikulum adalah semua bahan pengajaran yang direncanakan oleh sekolah untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Berdasarkan hal di atas, maka konsep kurikulum memiliki sekurang-kurangnya 3 pengertian.
1. Kurikulum adalah program pendidikan yang terdiri dari beberapa mata pelajaran    yang harus diambil oleh anak didik pada suatu jenjang sekolah.
2. Kurikulum adalah semua pengalaman yang diperoleh anak selama di sekolah.
3. Kurikulum adalah rencana belajar siswa, agar mencapai tujuan yang ditetapkan.
Adanya kurikulum ini merupakan hal yang sangat penting, karena dari sinilah seorang Guru bisa mengambil acuan ketika ingin memberikan pengajaran kepada peserta didik. Dan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka dalam proses pembelajaran harus digunakan strategi-strategi tertentu agar lebih mudah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

           Kurikulum ini wajib adanya pada setiap Mata Pelajaran termasuk di dalamnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Dalam hal ini akan dibahas secara terbatas yakni dalam ruang lingkup Kurikulum Pendidikan Agama Islam di SD/MI sesuai judul makalah ini.

B. Rumusan Masalah
           Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan strategi pelaksanaan kurikulum PAI (SD/MI)?
2. Strategi apa saja yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan?


C. Tujuan Penulisan Makalah

           Penulisan makalah ini pada dasarnya bertujuan agar supaya peserta diskusi bisa memahami dan sekaligus bisa mengamalkan srategi dalam pelaksanaan kurikulum PAI sehingga dalam proses pembelajaran yang akan dilakukan kedepannya bisa berjalan dengan baik dan mencapai tujuan pendidikan yang sebenarnya. Dan pada akhirnya menghasilkan peserta didik yang mampuh melaksanakan kehidupan dunia ini sesuai ajaran Agama Islam.













 BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Strategi Pelaksanaan Kurikulum PAI (SD/MI)
            Strategi pelaksanaan kurikulum atau lebih khusus lagi proses belajar-mengajar adalah cara bagaimana anak memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan. Dalam hal mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di ruang lingkup SD/MI, yang namanya strategi sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan kurikulum pada dasarnya merupakan tujuan setiap program pendidikan yang diberikan kepada anak didik, Karena kurikulum merupakan alat antuk mencapai tujuan, maka kurikulum harus dijabarkan dari tujuan umum pendidikan. Dalam sistem pendidikan di Indonesia tujuan pendidikan bersumber kepada falsafah Bangsa Indonesia.

           Dalam Undang-undang No. 2 tahun 1980 tentang sistem Pendidikan Nasional rumusan tujuan pendidikan nasional disebutkan Pendidakan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Kesehatan asmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tariggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dari tujuan nasional kemudian dijabarkan ke dalam tujuan insitusional/ lembaga, tujuan kurikuler, sampai kepada tujuan insfruksional.
Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai oleh suatu lembaga pendidikan, umpamanya MI. MTs, MA, SD, SMP, SMA, dan sebagainya. Artinya apa yang harus dimiliki anak didik setelah menamatkan lembaga pendidikan tersebut, Sebagai contoh, kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik setelah menamatkan lembaga pendidikan iersebut. Sebagai contoh, kemampuan apa yang diharapkan dimiliki oleh anak yang tamat MI, MTs, atau Madrasah Aliyah.

            Kurikulum sebagai program pendidikan pada dasarnya masih merupakan niat atau rencana, sedangkan bagaimana operasionalisasinya, maka diperlukan strategi pelaksanaan kurikulum. Strategi pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan:

1. Tingkat dan jenjang pendidikan, yang dimaksud adalah tingkatan sekolah. Apakah SD/MI, SMP/MTs atau SMA/MA. Seorang pendidik harus menyesuaikan cara mengajarnya dengan tingkatan atau jenjang pendidikan peserta didiknya.
2. Proses belajar-mengajar, adalah interaksi antara guru dan murid yang membahas pelajaran.
6. Evaluasi atau penilaian, Evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk menilai suatu kurikulum sebagai program pendidikan untuk menentukan efisiensi, efektifitas, relevansi dan produktivitas program dalam mencapal tujuan pendidikan. Evaluasi kurikulum harus dilakukan secara terus-menerus.

            Secara lebih operasional komponen strategi pelaksaƱaan kurikulum diartikan sebagai proses belajar-mengajar. Yaitu bagaimana cara siswa memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan, Metode kurikulum berkenan dengan proses pencapaian tujuan sedangkan proses itu sendiri bertalian dengan bagaimana pengalaman belajar atau isi kurikulum diorganisasikan. Setiap bentuk organisasi yang digunakan membawa dampak terhadap proses memperoleh pengalaman yang dilaksanakan. Untuk itu perlu ada kriteria pola organisasi kurikulum yang efektif.

            Menurut Tyler kriteria yang digunakan untuk merumuskan kurikulum adalah :

1. Berkesinambungan. Artinya saling hubungan atau jalin-menjalin antara berbagai tingkat dan jenis program pendidikan.
2. Berurutan, Artinya kurikulum diorganisasikan dengan memperhatikan tahapan atau urutan bahan.
3. Keterpaduan. Artinya dalam menyusun program pendidikan atau kurikulum sebaiknya memiliki huhungan horisorital pengalaman belajar yang menjadi isi kurikulum, sehingga dapat membantu anak memperoleh pengalaman tersebut dalam suatu kesatuan.
4. Prinsip Fleksibilitas. Artinya kurikulum yang dirumuskan hendaknya memiliki ruang gerak baik bagi guru dalam mengembangkan program pendidikan maupun untuk murid untuk memilih program yang ditawarkan.

B. Strategi Pelaksanaan Kurikulum

            Secara operasional penggunaan kurikulum oleh guru menencakup: perumusan tujuan, penentuan materi, menentukan strategi belajar dan mempersiapkan evaluasi. Semua langkah-langkah tersebut biasanya dituangkan dalam persiapan mengajar secara tertulis.

1. Merumuskan tujuan. Setiap guru yang akan mengajar harus merumuskan tujuan instruksional khusus (TIK) sebagai penjabaran lebih lanjut dan tujuan instruksional umum (TIU) yang ada dalam GBPPS Setiap pokok atau. Sub pokok bahasan yang diajarkan harus dirumuskan terebih dahulu TIK-nya agar dalam pelaksanaannya lebih terarah, lebih mudah dievaluasi sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai. Karenanya ada beberapa ketentuan bagaimana merumuskan TIK yang benar.

2. Menentukan isi pokok bahasan yang diambil dan GBPP berdasarkan urutan yang ada, atau rnencoba mengorganisasinya kembali untuk lebih efektif dan efisiensi proses belajar-mengajar Sebagai contoh, bagaimana mengajarkan shalat dikaitkan dengan pelajaran membaca Alqur’an. Karena didalamnya ada bacaan Al-Fatihah dan surat tertentu.


3. Merumuskan bentuk kegiatan atau strategi belajar, seperti menentukan metode yang digunakan, alat belajar dan lingkungan sebagai sumber belajar, langkah-langkah kegiatan sampai kepada bentuk evaluasi.

4. Penilaian kurikulum. Guru setelah memberikan pelajaran dilanjutkan dengan evaluasi belajar, untuk melihat sejauh mana proses belajar yang baru saja dilakukan mencapai tujuan yang ditetapkan. Evaluasi sebaiknya mencakup dua aspek, yaitu aspek perolehan dan aspek proses. Dengan mempelajari uraian di atas. anda diharapkan dapat memperoleh gambaran yang cukup jelas tertang konsep dan kedudukan kurikulum serta bagaimana mengembangkannya dalam kegiatan anda sebagai guru baik di SD maupun MI.

           Adapun hal yang perlu diketahui menyangkut pelaksanaan kurikulum tersebut yakni inovasi kurikulum. Yang dimaksud dengan Inovasi Kurikulum adalah suatu pembaharuan atau gagasan yang diharapkan membawa dampak terhadap kurikulum itu sendiri. Tanpa ini bukan hanya pada pengembangan, melainkan juga terhadap proses pendidikan sebagai implementasi suatu kurikulum menyeluruh, termasuk terhadap penerapan pendidikan agama di SD. Sebagai contoh dari inovasi kurikulum antara lain:

1. Dari sisi bentuk dan organisasi inovasinya berupa perubahan dari kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan dan kurikulum 1975 menjadi kurikulum 1975 yang disempurnakan dan dengan lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan riasional maka terjadilah perubahan kurikulum pada tahun 1994.

2. Dan sisi psikologi timbul masalah berkenaan dengan pendekatan belajar-mengajar yang bau, maka muncul berbagai inovasi seperti keterampilan proses, CBSA dan belajar tuntas.

3. Dari sisi sosiologis timbul masaah berkenaan dengan tuntutan masyarakat modern yang semakin tinggi dan kompleks sehingga muncu1 inovasi berupa masuknya maka peajaran keterampi1an, adanyal kerja dan gagasan muatan lokal.

4. Dari sisi penyampaian pengajaran, inovasi berupa sistem modul paket untuk pendidikan luar sekolah dan metode SAS (Struktural Analisis Sintesis) untuk belajar membaca Aiquran.

            Contoh Teknis Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar Didalam Kelas (Per Materi).
1. Al-Qur’an
            Mengenal kalimat dalam Al-Qur’an (membaca dan menulis kalimat dalam Al-Qur’an) dengan cara sebagai berikut.
a. Seorang guru mengenalkan kepada peserta didik tentang dalil yang memperintahkan untuk mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain.

b. Seorang guru mengenalkan kepada peserta didik tentang huruf-huruf hijaiyah yang ada 25, secara terpisah dan bertahap. Dan selanjutnya meminta kepada mereka untuk membacanya, baik secara individual maupun bersama-sama.

c. Seorang guru mengenalkan kepada peserta didik tentang cara penulisan huruf-huruf hijaiyah. Bagaimana cara penulisan huruf pada posisi awal, tengah, akhir dan tunggal.

2. Aqidah

           Mengenal sifat wajib Allah (menyebutkan dan mengartikan lima sifat wajib Allah)
a. Seorang guru mengenalkan kepada peserta didik tentang pengertian sifat wajib bagi Allah SWT.

b. Seorang guru mengenalkan kepada peserta didik tentang lima sifat wajib bagi Allah. Yang kemudian meminta mereka untuk menyebutkannya secara berurutan.

c. Seorang guru mengenalkan kepada peserta didik tentang arti dari lima sifat wajib bagi Allah, kemudian memberikan dan membacakan dalil-dalil yang berkaitan dengan sifat-sifat itu.

3. Akhlak

            Membiasakan perilaku terpuji (menampilkan perilaku percaya diri, tekun dan hemat)
a. Seorang guru menjelaskan kepada peserta didik tentang pengertian perilaku percaya diri, tekun dan hemat.

b. Seorang guru menjelaskan kepada peserta didik tentang manfaat dari perilaku percaya diri, tekun dan hemat.

c. Seorang guru menganjurkan kepada peserta didik agar menerapkan dan membiasakan perilaku percaya diri, tekun dan hemat dalam kehidupan sehari-hari.








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Strategi pelaksanaan kurikulum atau lebih khusus lagi proses belajar-mengajar adalah cara bagaimana anak memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan. Dalam hal mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di ruang lingkup SD/MI, yang namanya strategi sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Strategi Pelaksanaan Kurikulum

a. Merumuskan tujuan

b. Menentukan isi pokok bahasan yang diambil dan GBPP berdasarkan urutan yang ada

c. Merumuskan bentuk kegiatan atau strategi belajar

d. Penilaian kurikulum